Penerimaan
peserta didik baru (PPDB) dalam surat edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020
tentang PPDB dan Peraturan Menteri Pendidikan dengan kebijakan system zonasi usia
di DKI Jakarta. Menuai pro kontra di masyarakat salah satunya dari para
orangtua siswa, mulai dari Sekolah dasar, SMP, dan SMA/SMK. Bagaimana mungkin
menuai protes dari orang tua siswa, PPDB memprioritaskan bagi yang siswa
berusia lebih tua (umur) dibandingkan yang siswa (umurnya muda) berprestasi.
Saya membaca sebuah berita yang dimana itu PPDB SMK (di salah satu sekolah di
Jakarta) ada siswa yang mendaftarkan yang berumur 19, 20 tahun, sedangkan SMP
15 tahun begitu juga SD ada yang 11 tahun (web: www.ppdb.jakarta.go.id).
Oleh sebab itu banyak orang tua siswa yang berprestasi/terdepak dari system kebijakan
usia ini. Yang para orang tua ingin sekali anaknya bersekolah di sekolah
favorit/negeri, tidak lolos dari zonasi usia.
Dikutip
dari Merdeka.com pada (28 Juni 2020) Kriteria usia pada PPDB pertama kali
mencuat saat Saguh (orangtua dari calon murid kelas 7) mengaku keberatan dengan
proses tersebut. Ia merasa penerimaan murid berdasarkan usia tidak adil dari
segi kompetensi. Ketimbang berdasarkan usia, ia lebih menyetujui system zonasi.
Kriteria yang digunakan usia, artinya siapa yang lebih tua di zonasi tersebut,
padahal kita tahu terbatas misalnya di
daerah Jakarta Timur ada beberapa sekolah, tapi peminatnya pasti lebih banyak
itu yang didahulukan yang tua-tua dulu, jadi ini gak relevan. Dalam skema itu
setidaknya akan berdampak terhadap psikis anak-anak yang bersungguh-sungguh
dalam mencapai target akademis namun dikalahkan dengan kriteria usia.
Dalam
kutipan diatas seharusnya pemerintah Pendidikan Jakarta mempertimbangkan
terlebih dahulu mulai dari factor pemenuhan daya tampung siswa, memperhitungkan
jumlah lulusan siswa dan daya tampung
sekolah negeri, swasta, Pendidikan kesetaraan hingga madrasah.
Mungkin
saja maksud dari pemerintah Pendidikan Jakarta mempunyai harapan untuk
memeratakan system Pendidikan (kita) di Jakarta, yang mana dalam Pendidikan di Jakarta
ini ada kesenjangan mulai dari usia tua , prestasi,…,ini untuk memeratakan
sistem Pendidikan di Jakarta dan pemerintah mungkin saja ingin mengimbangkan
antara usia tua dan yang berprestasi sehingga yang usia tua bisa belajar lebih
dari yang berprestasi, melenyapakan ekslusivitas dan diskriminasi bagi sekolah
negeri, dan mencegah pemupukan kapasitas manusia berkualitas di suatu wilayah
(Jakarta).
Tetapi langkah ini
tidak benar (menurut saya). Mereka (siswa) yang tua baru sekolah tahun kemarin
tetapi pada saat mudanya apa yang dilakukan? Males-malesan? Atau tidak naik
kelas? Kalau saja yang usia tua itu nilainya bagus tidak masalah. (Pemikiran
liar) usia tua, nilai jelek (anggapan), sekolah pakai uang negara (sekolah
negeri) pula. Hal ini merugikan negara bukan begitu? Bahkan anak-anak
(mampu/tidak mampu) yang sudah rajin belajar/bimbel untuk memasuki sekolah
negeri, apa tidak kasihan? Inilah yang diperlukan kenapa passing grade menjadikan tolak ukur dalam
pendidikan, Sebab itu bagaimana sikap mereka (siswa) menuai hal positif
(terbaik) dari pemerintah meskipun banyak kecaman pro kontra masyarakat. Oleh
karena itu, jika sudah tahu kondisi Pendidikan kita (Jakarta) seperti ini,
akankah kita hanya diam saja? Patut dipertanyakan rasa kepedulian terhadap permasalahan
Pendidikan saat ini. Sudah saatnya kita intropeksi diri dan untuk turut
berkontribusi (dimasa mendatang) memperbaiki pendidikan di DKI Jakarta
khususnya.-Arbi Setiawan
No comments:
Post a Comment
Kamu punya kritik dan saran? Silahkan melalui kolom komentar di bawah ini